BAHAYA MIKROPLASTIK YANG MENGANCAM LINGKUNGAN DAN KESEHATAN MANUSIA
Sejak rutin diproduksi dalam skala besar pada tahun
1950-an, diperkirakan sekitar 8.3 milyar ton plastik telah dihasilkan, dan
hanya sebagian kecil yang masih fungsional sampai saat ini; 75% dari jumlah ini
telah menjadi sampah (Geyer, Jambeck, & Law, 2017). Produksi plastik global
per tahun saat ini diperkirakan sebesar 320 juta ton per tahun, di mana 40%
dari jumlah ini merupakan produk sekali pakai, terutama kantong plastik. Bila
tidak diolah dengan baik, sampah plastik biasanya akan berakhir di laut
melewati aliran sungai, karena berat jenisnya yang kebanyakan dapat mengapung
atau melayang di air. (Supit et al., 2022) Akumulasi plastik di laut merupakan
masalah lingkungan hidup yang amat penting untuk ditangani saat ini (Mishra,
Rath, & Das, 2019).
Baik
di darat maupun di laut, plastik tidak dapat didegradasi dengan sempurna.
Plastik hanya akan mengalami penyusutan ukuran menjadi makin kecil lewat proses
fisika atau kimiawi, sehingga pada akhirnya dapat dikonsumsi oleh hewan dan
biota laut lainnya lalu masuk ke dalam rantai makanan (Smith, Love, Rochman,
& Neff, 2018). Manusia, sebagai konsumen tingkat akhir, juga dapat terpapar
dengan limbah plastik, khususnya dalam bentuk mikro dan nanoplastik, sedangkan
organisme laut dan pantai lainnya, seperti ikan paus, burung camar, dan
sebagainya, dapat terganggu oleh karena ingesti dan jeratan makroplastik. (Firmansyah et al. 2021)
Asia memiliki produksi plastik tertinggi, yang
menyumbang 49% dari total produksi dunia, China adalah produsen terbesar dunia
(28%), diikuti oleh Amerika Utara dan Eropa dengan 19% pada Tahun 2015.
Penghasil polutan plastik terbesar setelah China adalah Indonesia yaitu
0,48-1,29 metrik ton plastik/tahun. Peneliti memprediksi bahwa setiap tahunnya
hingga Tahun 2050 diperkirakan keberadaan ikan akan tersaingi oleh keberadaan
plastik di lautan. Sekitar 500 miliar per tahun menggunakan kantong plastik,
sekitar 13 juta ton akhirnya jatuh ke laut, menewaskan sekitar satu miliar
orang 100.000 kehidupan laut
Pemakaian plastik dalam kehidupan tiap hari hadapi
kenaikan sebab watak keunggulannya tersebut. Bagi Kemenperin tahun 2013, dekat
1, 9 juta ton plastik dibuat sepanjang tahun 2013 di Indonesia dengan rata-
rata penciptaan 1, 65 juta ton/ tahun. Jumlah mengkonsumsi plastik mempengaruhi
signifikan terhadap sampah plastik yang dihasilkan. Kota Jakarta misalnya,
dengan penduduk sebanyak 9 juta jiwa, serta jumlah sampah per hari dekat 5000 ton
hingga jumlah plastik yang ditimbun menggapai 400 ton. Dari tipe tersebut
sampah plastik yang ditemui biasanya berjenis PP. Bagi Thompson tahun 2013
memperkirakan kalau 10% dari seluruh plastik yang baru dibuat hendak dibuang
lewat sungai serta berakhir di laut. Perihal ini berarti dekat 165 ribu ton
plastik/ tahun hendak bermuara di perairan laut Indonesia
Nanoplastik bisa menutup saluran pencernaan serta
menimbulkan keterbatasan nutrisi. Partikel nanoplastik dipindahkan ke sistem
pencernaan lewat bilik usus. Bila nanoplastik masuk ke saluran pencernaan
manusia, diprediksi bisa merobek usus ataupun lambung sebab pecahan nanoplastik
tidak bisa di cerna di dalam saluran pencernaan, serta sebagian keluar bersama
kotoran hendak senantiasa masih terdapat yang tertinggal di dalam badan. Bila
masuk ke dalam sel darah, plastik nano ini turut terserap dalam jaringan sel
darah serta bisa mengusik sistem syaraf pusat. Apabila sangat kerap bisa
menimbulkan kendala sistem pencernaan ataupun sistem syaraf, serta lama- lama
bisa menyebabkan kematian
Selain itu, di dalam garam, air minum, dan kotoran
manusia juga ditemukan nanoplastik. Dampak lain yang ditimbulkan oleh
nanoplastik terhadap makhluk hidup yaitu hewan adalah dapat menghambat sistem
pencernaan dan dapat mempengaruhi kebiasaan makan mereka hingga menyebabkan
kematian. Dampak dari nanoplastik terhadap manusia, selain dapat menyebabkan
gangguan saluran pencernaan hingga kematian diduga dapat menyebabkan peradangan
paru-paru dan keracunan genetic
Konsumsi plastik dalam jumlah yang sangat besar
pastinya hendak berakibat signifikan terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup
serta area sebab plastik memiliki watak susah terdegradasi (nonbiodegradable),
plastik diperkirakan membutuhkan 100 hingga 500 tahun sampai bisa
terdekomposisi (terurai) dengan sempurna. Dengan demikian konsumsi plastik baik
plastik yang masih baru ataupun sampah plastik haruslah bagi persyaratan yang
berlaku supaya tidak beresiko terhadap kesehatan serta area. Tujuan penulisan
artikel ini untuk mengkaji sejumlah literatur sebagai rujukan keberadaan,
bahaya, serta mitigasi terhadap sampah plastic
Perpindahan mikroplastik dari lingkungan ke dalam
tubuh manusia dapat terjadi secara primer (langsung dari lingkungan ke dalam
tubuh manusia dalam bentuk inorganik) dan secara sekunder (masuk lewat rantai
makanan, dengan cara mengkonsumsi organisme yang tercemar mikroplastik). Perpindahan
primer dapat terjadi lewat sistem pencernaan (digesti) dan pernafasan
(inhalasi), sedangkan perpindahan sekunder biasanya terjadi lewat digesti. Perpindahan
primer terutama terjadi dengan cara mengkonsumsi air minum yang tercemar
mikroplastik. Penelitian terbaru di Jerman dan Ceko (Mintenig, Löder, Primpke,
& Gerdts, 2019; Pivokonsky, et al., 2018) menemukan cemaran mikroplastik
berukuran 1-10 um pada pabrik air minum, baik sebelum dan sesudah proses
pemurnian, kebanyakan berupa PET, PP dan PE. Mikroplastik juga ditemukan pada
air minum kemasan komersial (Schymanski, Goldbeck, Humpf, & Fürst, 2018),
terlepas dari jenis botol air mineral tersebut (plastik, karton, atau gelas).
Air dalam kemasan botol plastik memiliki kadar cemaran mikroplastik tertinggi,
disusul oleh air dalam kemasan kaca dan karton. Hal ini menunjukkan bahwa
plastik kemasan air mineral juga dapat mentransmisikan mikropartikel plastik abrasif
yang langsung dikonsumsi manusia. Sejauh ini belum ada publikasi mengenai kadar
cemaran mikroplastik pada air kemasan di Indonesia.
Mikroplastik juga dapat masuk ke dalam tubuh manusia
secara primer lewat inhalasi, karena mikroplastik dapat melayang di udara.
Sumber utamanya adalah debu erosi dari tekstil sintesis, ban mobil, dan produk
plastik lainnya. Bahkan diperkirakan 7% cemaran mikroplastik di laut justru
berasal dari udara (Gasperi, et al., 2015). Konsentrasi mikroplastik di udara
amat variatif. Di udara terbuka perkotaan, ditemukan cemaran yang jatuh dari
atmosfer berkisar antara 53 sampai 118 partikel/m2 /hari, sedangkan di ruang
tertutup, ditemukan sampai dengan 59 partikel mikroplastik per meter kubik
udara, kebanyakan berupa serat sintetis, semuanya bercampur dengan debu ruangan
(Dris, Gasperi, Saad, Mirande, & Tassin, 2016; Gasperi, et al., 2015).
Kebanyakan masalah kesehatan okupasional yang muncul berkaitan dengan paparan
mikroplastik di tempat kerja dalam ruangan (Prata, 2018)
Di sistem pernafasan, mikroplastik sebagai benda asing
akan berusaha dikeluarkan oleh tubuh lewat aksi mekanik (bersin/batuk), sistem
mukosiliaris di bronkus, dan fagositosis makrofag serta transport limfatik.
Namun, partikel mikroplastik dapat terdeposit di saluran pernafasan oleh karena
impaksi (himpitan dinding saluran nafas), intersepsi (kontak serabut dengan dinding
saluran), sedimentasi (endapan karena gravitasi), dan difusi oleh karena
gerakan Brown (Prata, 2018). Partikel yang telah terdeposit di dalam saluran
pernafasan dapat memicu reaksi radang oleh karena kemotaksis makrofag, stress
oksidatif, pelepasan mediator inflamasi, yang pada akhirnya akan berakhir pada
sitotoksisitas serta potensi transformasi karsinogenik (Beckett, 2000; Chang,
2010). Secara klinis makroskopik, inhalasi nanopartikel secara umum dapat
menyebabkan efusi pleura, granuloma, dan fibrosis paru (Song, Li, & Du,
2009), namun sampai saat ini tidak dapat dilakukan penelitian eksperimental
pada manusia untuk menentukan hubungan kausal mikroplastik secara spesifik.
Di saluran cerna, mikroplastik berukuran 0.1 sampai
10um dapat di-endositosis oleh sel M pada plak Peyer di ileum dan dibawa ke
jaringan limfoid lewat mekanisme transitosis. Mikroplastik juga dapat mengalami
persorpsi paraseluler, di mana partikel dapat berpindah lewat loose junction ke
jaringan submukosa, sistem limfatik, serta peredaran darah. Mikroplastik dengan
ukuran sampai dengan 240nm juga dapat menembus sawar plasenta (Wick, et al.,
2010), sehingga transmisi patologi vertikal secara fetomateral dapat terjadi.
Transfer sekunder terjadi secara tidak langsung, yaitu dengan cara mengkonsumsi
hewan yang berada di bagian bawah rantai makanan. Karena ukurannya yang kecil,
mikroplastik dapat ditelan oleh berbagai hewan akuatik, baik secara tidak
sengaja (misalnya oleh ikan yang memfilter air laut untuk memperoleh
makanannya, kerang, dan plankton) maupun secara seleksi aktif (misalnya oleh
burung atau ikan besar yang mengira mikroplastik sebagai mangsa dan malah
sengaja memakannya). Pada akhirnya, akan terjadi penumpukan biomassa, dan
manusia sebagai konsumen akhir akan juga terpapar dengan mikroplastik ini
secara sekunder (Smith, et al., 2018)
Bagaimanapun jalur masuknya ke dalam tubuh manusia,
translokasi mikroplastik ke dalam tubuh manusia (dan makhluk hidup lainnya)
dapat membawa efek biologis yang merugikan. Dalam bagian berikut dari tulisan
ini, akan dibahas tentang efek mikroplastik di tingkat seluler dan molekuler. Ringkasnya,
respons tubuh terhadap mikroplastik di tingkat seluler kebanyakan berupa stress
oksidatif, disertai dengan pergeseran metabolisme dan aktivasi proses radang di
tingkat sistemik. Dalam jangka waktu lama, proses radang, disregulasi
metabolisme, dan stress oksidatif akan berakibat buruk dan bermanifestasi
sebagai gangguan klinis toksisitas kronis yang amat mungkin terlambat didiagnosis,
karena proses patogenesis prekliniknya yang berlangsung lama.
DAFTAR
PUSTAKA
Firmansyah, Yura Witsqa, Mirza Fathan Fuadi, Muhammad
Fadli Ramadhansyah, Farida Sugiester S, Wahyu Widyantoro, Maurend Yayank
Lewinsca, Sutra Diyana, Nanda Ika Vera Marliana, Intan Sekar Arumdani, Aziz
Yulianto Pratama, Desti Azhari, Ramadani Sukaningtyas, and Afdal Hardiyanto.
2021. “Keberadaan Plastik Di Lingkungan, Bahaya Terhadap Kesehatan Manusia, Dan
Upaya Mitigasi: Studi Literatur.” Jurnal Serambi Engineering 6(4):2279–85.
doi: 10.32672/jse.v6i4.3471.
Hiwari, Hazman, Noir P. Purba, Yudi N. Ihsan, Lintang P. S.
Yuliadi, and Putri G. Mulyani. 2019. “Kondisi Sampah Mikroplastik Di Permukaan
Air Laut Sekitar Kupang Dan Rote , Provinsi Nusa Tenggara Timur Condition of
Microplastic Garbage in Sea Surface Water at around Kupang and Rote , East Nusa
Tenggara Province.” 5:165–71. doi: 10.13057/psnmbi/m050204.
Supit, A., Tompodung, L., & Kumaat, S. (2022).
Mikroplastik sebagai Kontaminan Anyar dan Efek Toksiknya terhadap Kesehatan. Jurnal
Kesehatan, 13(1), 199. https://doi.org/10.26630/jk.v13i1.2511